Melihat aib diri sendiri
Melihat aib diri sendiri
Suatu hari Umar ra. berkata kepada salman. "Apa saja yang kau dengar tentang diriku yang tak kau sukai, wahai salman?" Mendengar pertanyaan yang tak disangkanya itu salman hanya diam. Hatinya memang menyimpan gunjingan orang tentang umar, tapi demi menjaga persahabatan mereka, ia tak menyampaikan itu Salman tak bersedia menjawabnya. Tapi, rupanya Umar terus mendesak.
"Aku mendengar bahwa engkau menumpuk dua lauk dalam satu piring dan engkau memiliki dua busana, busana siang dan busana malam," ujar salman.
"Adakah hal lain yang kau dengar?" tanya umar lagi. "Tidak."
"Kedua hal itu sudah ku tinggalkan." ujar umar lega.
Umar mengajukan pertanyaan itu dengan satu tujuan yang pasti; mengetahui aib diri. Umar tentulah bukan orang yang tak suka bermuhasabah dan bertafakur tentang amal dirinya. Kegiatan intropeksi itu pastilah sudah ia lakukan. Tapi amirul mukminin setelah abu bakar itu masih merasa kurang. Ia takut keterbatasan diri membuatnya luput melihat aib dirinya secara utuh, makanya ia menemui salman sebagaimana dia juga menemui Khudzaifah, seorang sahabat yang dipandang memegang rahasia Rasulullah serta sangat tajam pandangannya dalam melihat orang munafik. "Adakah kau melihat tanda-tanda kemunafikan dalam diriku, Khudzaifah?" tanya umar.
Yang dianggap aib oleh salman dan dibenarkan oleh umar tentu bukanlah perkara besar jika diukur dengan nilai yang berlaku saat ini. Makan dengan dua lauk dalam satu piring bukanlah hal yang patut dicela karena sekarang sudah lazim orang makan dengan lauk beraneka ragam. Begitupun memiliki dua busana berdasarkan waktu siang dan malam juga bukan hal yang merupakan aib saat ini. Tapi hal ini menjadi gunjingan di masa Nabi karena nilai dan etika waktu itu memang masih demikian murni. Jika Nabi menganggap aisyah, istri kesayangannya, makan terlalu banyak saat didapati makan dua kali sehari, tentulah apa yang dilakukan umar bisa dipandang sebagai hal yang berlebih-lebihan. Dan umar dengan ketakwaannya tak lagi mengulangi dua perbuatan itu.
Melihat kisah ini kita sungguh malu jika melihat kehidupan kita hari ini. Adakah kita pernah bertanya kepada teman yang dapat dipercaya atau kepada seorang ustadz yang kita anggap saleh tentang aib diri kita?Pernahkah kita, dengan hati ikhlas dan jujur, berusaha mencari tau apa saja kekurangan-kekurangan diri kita selama ini sebagai pijakan untuk memperbaikinya di kemudian hari?
Tentu sulit menjawab bahwa hal ini sudah atau kerap kita lakukan. Yang terjadi malah bisa sangat berlainan. Aib yang terkadang sudah sangat telanjang terlihat bukanlah satu hal yang memalukan saat ini dan bukan pula satu hal yang menjadi cambuk diri untuk segera diperbaiki. Aib bahkan dirayakan dan dilain pihak dicari pembenarannya terus menerus.
Aib bisa berarti bukan aib bagi orang-orang yang sudah dicabut rasa malunya itu. Tentu hal inimerupakan kondisi yang sudah sangat bersangatan keaibannya. Dalam kondisi lain, dan ini yang sering kita hadapi, adalah kondisi saat kita begitu mudah melihat kesalahan orang lain namun tak mampu melihat kesalahan diri sendiri.
Kita terlalu mudah mengkritik dan membeberkan kekurangan orang lain tapi sedikitpun tak tau kekurangan dan melihat aib diri sendiri yang terkadang jauh lebih banyak dan lebih besar dari kesalahan orang lain. Hal inilah yang terkadang membuat kegiatan mengkritik sangat dekat dengan sifat kedengkian.
Jika Umar sampai tergopoh-gopoh bertanya pada sahabatnya tentang aib dirinya tentulah perkara ini sangat besar nilainya. Umar bahkan mengirim doa bagi siapapun yang membeberkan aib dirinya kepadanya, karena hal itu adalah kebaikan baginya sekaligus poin penting untuk menjadi hamba yang lebih bertakwa dan lebih ikhlas.
Mukmin sejatinya sudah dijadikan sebagai cermin bagi mukmin yang lain. Merekalah pihak yang menjadi subyek konsep saling menasehati dalam kebenaran dan sabar sebagaimana tetrmaktub dalam surat Al-Ashr. Aib seorang mukmin dapat terlihat pada mukmin yang lain, begitu sebaliknya. Cukuplah hal ini sebagai pelajaran bagi semua, berusaha melihat aib diri sendiri dengan hati ikhlas dan kesungguhan memperbaikinya. Waallahu A'alam.
Sumber : Hidayah
Jika Allah SWT menghendaki suatu kebaikan bagi seseorang hamba, maka dia menjadikan hamba itu melihat aib diri sendiri. (Said Hawwa)
Suatu hari Umar ra. berkata kepada salman. "Apa saja yang kau dengar tentang diriku yang tak kau sukai, wahai salman?" Mendengar pertanyaan yang tak disangkanya itu salman hanya diam. Hatinya memang menyimpan gunjingan orang tentang umar, tapi demi menjaga persahabatan mereka, ia tak menyampaikan itu Salman tak bersedia menjawabnya. Tapi, rupanya Umar terus mendesak.
"Aku mendengar bahwa engkau menumpuk dua lauk dalam satu piring dan engkau memiliki dua busana, busana siang dan busana malam," ujar salman.
"Adakah hal lain yang kau dengar?" tanya umar lagi. "Tidak."
"Kedua hal itu sudah ku tinggalkan." ujar umar lega.
Umar mengajukan pertanyaan itu dengan satu tujuan yang pasti; mengetahui aib diri. Umar tentulah bukan orang yang tak suka bermuhasabah dan bertafakur tentang amal dirinya. Kegiatan intropeksi itu pastilah sudah ia lakukan. Tapi amirul mukminin setelah abu bakar itu masih merasa kurang. Ia takut keterbatasan diri membuatnya luput melihat aib dirinya secara utuh, makanya ia menemui salman sebagaimana dia juga menemui Khudzaifah, seorang sahabat yang dipandang memegang rahasia Rasulullah serta sangat tajam pandangannya dalam melihat orang munafik. "Adakah kau melihat tanda-tanda kemunafikan dalam diriku, Khudzaifah?" tanya umar.
Yang dianggap aib oleh salman dan dibenarkan oleh umar tentu bukanlah perkara besar jika diukur dengan nilai yang berlaku saat ini. Makan dengan dua lauk dalam satu piring bukanlah hal yang patut dicela karena sekarang sudah lazim orang makan dengan lauk beraneka ragam. Begitupun memiliki dua busana berdasarkan waktu siang dan malam juga bukan hal yang merupakan aib saat ini. Tapi hal ini menjadi gunjingan di masa Nabi karena nilai dan etika waktu itu memang masih demikian murni. Jika Nabi menganggap aisyah, istri kesayangannya, makan terlalu banyak saat didapati makan dua kali sehari, tentulah apa yang dilakukan umar bisa dipandang sebagai hal yang berlebih-lebihan. Dan umar dengan ketakwaannya tak lagi mengulangi dua perbuatan itu.
Melihat kisah ini kita sungguh malu jika melihat kehidupan kita hari ini. Adakah kita pernah bertanya kepada teman yang dapat dipercaya atau kepada seorang ustadz yang kita anggap saleh tentang aib diri kita?Pernahkah kita, dengan hati ikhlas dan jujur, berusaha mencari tau apa saja kekurangan-kekurangan diri kita selama ini sebagai pijakan untuk memperbaikinya di kemudian hari?
Tentu sulit menjawab bahwa hal ini sudah atau kerap kita lakukan. Yang terjadi malah bisa sangat berlainan. Aib yang terkadang sudah sangat telanjang terlihat bukanlah satu hal yang memalukan saat ini dan bukan pula satu hal yang menjadi cambuk diri untuk segera diperbaiki. Aib bahkan dirayakan dan dilain pihak dicari pembenarannya terus menerus.
Aib bisa berarti bukan aib bagi orang-orang yang sudah dicabut rasa malunya itu. Tentu hal inimerupakan kondisi yang sudah sangat bersangatan keaibannya. Dalam kondisi lain, dan ini yang sering kita hadapi, adalah kondisi saat kita begitu mudah melihat kesalahan orang lain namun tak mampu melihat kesalahan diri sendiri.
Kita terlalu mudah mengkritik dan membeberkan kekurangan orang lain tapi sedikitpun tak tau kekurangan dan melihat aib diri sendiri yang terkadang jauh lebih banyak dan lebih besar dari kesalahan orang lain. Hal inilah yang terkadang membuat kegiatan mengkritik sangat dekat dengan sifat kedengkian.
Jika Umar sampai tergopoh-gopoh bertanya pada sahabatnya tentang aib dirinya tentulah perkara ini sangat besar nilainya. Umar bahkan mengirim doa bagi siapapun yang membeberkan aib dirinya kepadanya, karena hal itu adalah kebaikan baginya sekaligus poin penting untuk menjadi hamba yang lebih bertakwa dan lebih ikhlas.
Mukmin sejatinya sudah dijadikan sebagai cermin bagi mukmin yang lain. Merekalah pihak yang menjadi subyek konsep saling menasehati dalam kebenaran dan sabar sebagaimana tetrmaktub dalam surat Al-Ashr. Aib seorang mukmin dapat terlihat pada mukmin yang lain, begitu sebaliknya. Cukuplah hal ini sebagai pelajaran bagi semua, berusaha melihat aib diri sendiri dengan hati ikhlas dan kesungguhan memperbaikinya. Waallahu A'alam.
Sumber : Hidayah